Tuntutan Pertanggungjawaban Pelaku Industri Penghasil Limbah SBE dan FABA di Kota Dumai

Kota Dumai, sebagai salah satu kota strategis di Provinsi Riau, kini menghadapi sorotan serius terkait pengelolaan limbah industri, khususnya limbah SBE (Spent Bleaching Earth) dan FABA (Fly Ash Bottom Ash). 


Sebagai kota industri yang berkembang pesat dengan lebih dari 100 perusahaan dalam dan luar negeri berinvestasi, Dumai menjadi pusat kegiatan industri pengelolaan minyak kelapa sawit dan turunannya.


Namun, pesatnya perkembangan industri tersebut tak lepas dari risiko lingkungan yang menyertainya. Salah satu risiko terbesar adalah munculnya limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari proses industri. 


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap penghasil limbah B3 wajib mengelola limbah yang dihasilkannya dengan baik dan bertanggung jawab.


Direktur Lingkungan Malaya Research and Development, Dhery Perdana Nugraha, menegaskan pentingnya tanggung jawab setiap perusahaan penghasil limbah B3 di Kota Dumai. 


Ia mendesak agar pelaku industri bertindak sesuai regulasi, khususnya dalam pengelolaan limbah SBE dan FABA yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak ditangani secara benar.


Baru-baru ini, mencuat dugaan praktik penimbunan limbah SBE oleh PT Ecooils Jaya Indonesia (EJI) di wilayah Dumai. Dugaan ini memunculkan kekhawatiran serius, mengingat kegiatan tersebut erat kaitannya dengan pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan limbah B3. 


Dhery menekankan bahwa dumping limbah ke lingkungan tanpa izin adalah tindakan melanggar hukum.


“Perusahaan dilarang keras membuang limbah B3 ke media lingkungan hidup tanpa izin resmi. Jika terbukti melakukan dumping secara ilegal, pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda hingga tiga miliar rupiah,” ujar Dhery.


Lebih lanjut, Dhery meminta kepada Penyidik Gakkum Provinsi Riau agar tidak ragu menindak tegas para pelaku pencemaran lingkungan. Ia menyebutkan bahwa baik penghasil, pengangkut, maupun pemanfaat limbah memiliki tanggung jawab hukum yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam rantai pengelolaan limbah.


Pihak Malaya Research and Development juga menyatakan komitmennya untuk terus melakukan investigasi dan pengumpulan bukti terkait dugaan pelanggaran lingkungan oleh industri di Dumai. 


“Kami akan terus memantau dan mengungkap praktik-praktik yang dapat merusak lingkungan. Ini menjadi komitmen kami dalam menjaga keberlanjutan ekosistem,” tegas Dhery.


Sementara itu, Bimo Selaku Presiden Mahasiswa (Presma), perwakilan dari Universitas Dumai (Unidum), turut angkat bicara. Ia meminta agar perusahaan-perusahaan penghasil limbah B3 di Dumai benar-benar bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari kegiatan industrinya. Menurutnya, lingkungan Dumai harus dijaga demi keberlangsungan hidup masyarakat sekitar.


Bimo juga secara khusus menegaskan kepada PT Ecooils Jaya Indonesia agar tidak lalai dalam pengelolaan limbahnya. 


“Pengelolaan limbah harus dilakukan secara maksimal dan sesuai standar agar tidak mencemari tanah, air, dan udara. Perusahaan harus menjalankan fungsinya secara etis dan profesional,” kata Bimo.


Ia menambahkan bahwa pihaknya bersama mahasiswa dan organisasi lingkungan lainnya akan terus mengawal isu ini. 


“Kami akan terus memantau, mengawasi, dan menyuarakan hak lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat Kota Dumai,” ujarnya.


Kasus ini menjadi peringatan bagi semua pelaku industri di Dumai agar mematuhi ketentuan perundang-undangan dan tidak mengabaikan aspek lingkungan. 


Transparansi, pengawasan ketat, dan tindakan hukum tegas menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.

Lebih baru Lebih lama